XtGem Forum catalog

Sejarah Gereja-gereja Di Timur Tengah.

"Man qatala mu'ahidan yarih raihata
al-jannah". Barangsiapa membunuh
kaum Dzimmi (minoritas non-Islam
yang dilindungi pemerintah Islam),
maka dia tidak mencium wanginya
surga.
(Nabi Muhammad)(1)
Beberapa tahun lalu, Gul Masih,
seorang Kristian dari Pakistan,
dituduh menghina Nabi
Muhammad oleh rekan Muslimnya,
Sajjad Husein. Tidak ada saksi lain
yang menyokong tuduhan Sajjad
Husein. Tetapi akhirnya hakim
berkata: "Sajjad Husein sudah
berumur 21 tahum, berjenggot,
berpenampilan sebagai Muslim
sejati. Oleh karena itu tidak ada
alasan bagi saya untuk tidak
mempercayainya." Akhirnya, Gul
Masih dihukum mati berdasarkan
tuduhan seorang saja tanpa saksi-
saksi.
Di Pakistan, kasus semacam itu
mudah sekali terjadi. Sebab
menurut ketentuan Qanun-I
Shahadat (Hukum Pembuktian)
pakistan tahun 1984: "Kesaksian
seorang Kristian tidak diterima
untuk menghukum orang Muslim,
dan pembunuhan atas seorang
dzimmiy (kaum non-Muslim yang
dilindungi pemerintah Islam) tidak
boleh dibalas setimpal dengan
hukuman mati, sebagaimana kasus
yang sama yang terjadi atas diri
seorang Muslim." (2)
Ketentuan semacam ini termasuk
hukuman mati bagi seorang Muslim
yang pindah agama Kristian
(ketentuan yang sama tidak berlaku
sebaliknya - seorang Kristian yang
pindah ke agama Islam). Hal
tersebut masih dijalankan di
beberapa negara Islam. Apakah
konsep ini cocok dengan sikap Nabi
Muhammad sendiri terhadap ahl
ad-dimmiy? Bila tidak, bagaimana
pula perkembangan konsep itu dari
waktu ke waktu hingga sekarang?
Apa pula pengaruhnya bagi
hubungan Kristian-Islam di negara-
negara Islam?
Dalam suatu acara doa bersama di
rumah Gus Dur (KH. Abdurrahman
Wahid), tatkala saya mewakili
komunitas Studi Kristian Syria dan
membawakan doa-doa dalam
bahasa Arab, Prof. Dr. Nurcholish
Madjid (Cak Nur) berkata: "Islam itu
semakin jauh dari pusatnya (Timur
Tengah) semakin fanatik."
Cak Nur mencontohkan kasus umat
Islam di Pakistan, Malaysia dan
Indonesia. Misalnya, di beberapa
tempat mengucapkan Selamat
Natal saja menjadi masalah.
Padahal, hubungan kekerabatan
Kristian-Islam di negara-negara
Arab: Mesir, Palestina, Syria dan
Libanon/Lubnan tidak
mempermasalahkan hal-hal seperti
itu.
MEMUPUK SEMANGAT TOLERANSI:
DARI SALING MENGUCAPKAN
SALAM HINGGA KEBEBASAN
BERAGAMA
Apa yang diucapkan Cak Nur kepada
saya memang benar dan saya
sudah sering menyaksikan sendiri.
Setiap akhir tahun Presiden
Palestina Yasser Arafat selalu
berpidato dalam bahasa Arab di
Kanisah al-Mahd (Gereja Kelahiran
Yesus) di Betlehem dan ia
mengucapkan Selamat Idul Milad
(Natal) dan Tahun Baru. "Kullu 'aam
wa antum bikhayr, - Setiap tahun
kiranya antum (Anda) selalu baik,"
demikian akhir pesannya selalu.
Keesokan harinya, koran-koran
(surat khabar) berbahasa Arab
memuat inti pesannya. Juga ulasan
pidato dari Patriarkh Mikhail Sabah
yang sangat "concern" terhadap
perdamaian Palestina. (3)
Begitu pula dengan Syeikh al-Azhar
di Mesir. Sebagai pemimpin
tertinggi Islam yang langsung
dipilih oleh rakyat, ia selalu saling
berkunjung dengan Anba' al-
Muazhim Shenuda III, Patriarkh
Iskandariyah dan pemimpin
tertinggi Gereja Ortodoks Koptik di
Kairo. Biasanya Syeikh al-Azhar
berkunjung pada waktu Idul Fashah
(Perayaan Paskah), dan sebaliknya
Anba' Shenuda III memberikan
ucapan selamat pada hari-hari
besar Islam, atas nama umat
Kristian Koptik di Mesir.
Hubungan antara Islam dengan
umat Kristian ortodoks di negara-
negara Timur Tengah (khususnya
gereja-gereja pribumi seperti
Gereja Ortodoks Syria dan Koptik)
memang telah berjalan cukup lama.
Hal itu juga dilatarbelakang oleh
"hutang sejarah" gereja-gereja
pribumi kepada pemerintah Islam
yang telah membebaskan mereka
dari penindasan sesama Kristian
(pihak Barat Byzantium).
Penindasan terjadi pada saat orang-
orang Kaisar memaksakan
hegemoni kebudayaan Yunani atas
kekristenan setempat. Khususnya
sejak gagalnya Konsili Kalsedon
tahun 451. Penindasan-penindasan
yang sangat kejam dari sesama
orang Kristian yang dimulai dari
Kaisar Yustinius atas gereja-gereja
pribumi di Mesir dan Syria itulah
yang telah menjadi salah satu
faktor pendorong cepatnya
perkembangan Islam.
Sejarah Gereja Ortodoks Koptik di
Mesir mencatat bahwa tahun-tahun
sebelum datangnya pemerinthan
Islam adalah saat-saat puncak
penganiayaan Kristian Byzantium
atas umat Kristian Mesir.
Penganiayaan tersebut telah
memakan banyak korban. Misalnya,
seorang martyr ('syahid") bernama
Menas, saudara Patriarkh Benyamin
mati di tangan Cyrus, wakil Kaisar
Heraklitus. Dicatat pula, tujuh
tahun sebelum tentara Islam
datang, jalan-jalan di
perkampungan Kristian Koptik
dipenuhi oleh lalu lalangnya polisi-
polisi (polis) keagamaan dari Kaisar
Byzantium yang kononnya "eis to
onoma to Christou" (demi nama
Kristus) mereka sewaktu-waktu
menangkap, menyiksa dan
membunuh rahib-rahib Koptik dan
saudara-saudara seiman mereka
sendiri yang menganut rumusan
iman berbeda.
Sebaliknya, setelah kedatangan
pemerintah Islam mereka diberi
sejenis "kebebasan beragama"
yang terbatas dan dengan
keharusan membayar jizyah (pajak
bagi kaum non-Islam di
pemerintahan Islam). Sebagaimana
umat Islam sendiri diwajibkan
membayar zakat menurut
peraturan agama mereka sendiri.
Selanjutnya hubungan Kristian-
Islam di Timur Tengah terjalin
sangat erat. Kendati tidak jarang
pula dikotori oleh motif-motif
ta'ayub (dorongan intoleransi) kaum
minoritas fanatik yang
menyebabkan beberapa gereja dan
biara dibakar dalam aksi-aksi
kerusuhan dan penganiayaan.
Al-Azhari, seorang sejarawan
Muslim yang hidup pada abad
ke-14 Masehi, dalam Tarikh al-
Adyar an-Nashraniy (Riwayat Biara-
Biara Kristian), mencatatkan
tentang kekesalahan dan
kemarahannya atas pembakaran
beberapa gereja pada saat
kerusuhan politik di Mesir. Namun,
rasa keadilanya terpuaskan ketika
gerombolan pembakar gereja itu
akhirnya dihukum mati oleh Kalifah
Islam Nasr Muhammad bin Qala'un
tahun 1337 Masehi. (4)
Gerombolan ekstrem dengan
pasukan provokatornya memang
selalu ada sampai hari ini di
negara-negara Timor Tengah. Saya
pernah berjalan bersama seorang
abuna (gelaran untuk seorang
pendeta dalam bahasa Arab) dari
Gereja al-Mu'alaqah (Hanging
Church) di kota lama Kairo. Betapa
kagetnya saya, ketika ada seorang
meludah seolah dengan perasaan
jijik melihat tanda salin yang
dipakai rekan saya yang berjubah
hitam itu. "Kelompok ekstrem itu
jumlahnya sangat sedikit," jelas
Abuna,ketika saya menanyakan
pemandangan yang saya lihat itu.
Pengalaman yang kurang
memuaskan ini sungguh kontras
dengan apa yang saya saksikan di
tempat lain, yaitu di sebuah toko
buku Koptik di Yordania. Toko buku
yang selalu saya kunjungi setiap
kali saya berada di Yordan ini
berada di depan gereja Koptik
"Sayidatina Maryam". Letak gereja
tersebut berhadapan dengan
masjid besar berkubah biru, yang
lebih populer disebut Masjid "Malik
'Abdullah", di kota Amman.
Saya pernah berjumpa dengan
seorang Muslim yang sering berada
di toko buku itu. Rupanya ia
diminta tolong oleh rekan-nya yang
beragama Kristian yang sedang
keluar - entah ke mana. Ternyata
pemuda Muslim itu sangat hapal
dengan kitab-kitab Kristian yang
saya tanyakan, bahkan lengkap
dengan penerbitnya. "Hal 'indak
Khidmatul Quddus li Basilius al-
Kabir?" (Apakah Anda mempunyai
buku Liturgi Basilius Agung?), tanya
saya. "Fil 'Arabiya?" (Dalam bahasa
Arab?), pemuda Muslim ity balik
bertanya. Saya menjawabnya
dengan anggukan kepala. "Na'am,
indi" (Ya, saya punya)", jawab
pemuda itu. Pemuda ity menyebut
juga nama penerbitnya, "Dir
Yuhanna al-Ha-bib lil Nasyir, Kairo".
Tidak lama kemudian, pemilik toko
buku yang Kristian itu datang.
Pemilik buku Koptik itu
menawarkan buku tebal berjudul
Tarikhul Kanisah (Sejarah Gereja).
Kitab yang tergolong klasik, karya
Eusebius dari Kaisarea (wafat 340
Masehi) ini, diterjemahkan dalam
bahasa Arab oleh seorang rabbi
Koptik bernama al-Qamash Marqus
Dawud dan diterbitkan oleh
Maktabah al-Muhabah, Kairo. Sekali
lagi, pemuda Muslim yang ramah
itu, masih saja nimbrung berbicara
mengenai sekilas isi buku tersebut.
TOLERAN, TANPA KEHILANGAN JATI
DIRI
Pengalaman Gereja Ortodoks Syria
juga tidak jauh berbeda. Orang-
orang Kristian Syria merasa sangat
tertekan dengan kekuasaan
imperium Yunani/Byzantium.
Ketika umat gereja Syria yang asal-
usulnya dapat dilacak dari zaman
rasuli ini, menolak pemaksaan
budaya Yunani, Kaisar Byzantium
mengasingkan Patriarkh Mar
Severeus ke Mesir, bersamaan
dengan penganiayaan uskup dan
para imam gereja. Takhta
kepatriarkhan direbut secara paksa
dan di situ ditempatkan "patriarkh-
patriarkh boneka" kaisar di Syria
dan Mesir (5).
Sikap muak dan benci terhadap
"kolonialisme" atas nama Kristian
ini adalah salah satu faktor yang
membuat mereka menyambut
pemerinthan Arab-Islam. Pada
akhir abad ke-11 Masehi, Patriakh
Syria Mar Mikhail al-Syeikh (Mikhael
the Elder) sambil melihat kembali
latar belakang sejarah itu,
berkeyakinan bahwa Allah sendiri
yang telah mengirimkan "anak-anak
Ismail dari Arab selatan untuk
membebaskan orang-orang Kristian
Syria dari tangan orang-orang
Byzantium."(6)
Sebaliknya, pihak Kristian barat
masih menyebut gereja-gereja Arab
dengan sebutan fitnah sebagai
nazhab "Monophisit" a la bid'ah
Euthyces, atau kaum Ya'qubiyah
(Jacobite), "pengikut Ya1qub Bar
Addai". Tuduhan terakhir ini
bertujuan untuk menghapus klaim
rasuliyah Gereja Syria sebagai
gereja yang sudah berdiri sejak
zaman permulaan keKristianan (Kis.
11:26),seolah-olah baru didirikan
oleh Ya'kub Bar Addai, meskipun ia
adalah tokoh Gereja Syria yang
terkemuka.(7)
Sejak berada di bawah
pemerintahan Arab-Islam, gereja-
gereja Arab memasuki pergumulan
baru. Pergumulan itu adalah
bagaimana mereka harus hidup
berdampingan dengan agama
Semitik baru yang secara kultural
dan politis berdekatan, tetapi
secara akidah berbeda? Bagaimana
mereka harus hidup berdampingan
secara damai tanpa melarutkan
kehilangan jati dirinya?
Ada satu catatan sejarah menarik,
terkait dengan saat ketika Injil
mulai diterjemahkan secara
lengkap dalam bahasa Arab
(sebelumnya kira-kira pertengahan
abad ke-6 Masehi, beberapa
fragmen liturgis diterjemahkan
sangat terbatas). Penerjemahan
Injil ini dilakukan atas perintah
'amir al-Jazirah, Umair bin Sa'd bin
Abi Waqqas al-Ash' ari. Waktu itu,
Mar Yuhanna Abu Sedra II, 'amir
meminta Patriarkh Syria agar
seluruh ayat yang mengandung
ajaran keilahian Yesus (sebagai
Firman Allah) dan kisah penyaliban-
Nya dihapuskan saja. Permohonan
itu dijawab oleh Patirarkh Abu
Sedra:
"Hasya liy 'an akhram hurfan
wahidan minal Injili Rabbiy, wa lan
akhtarmataniy saham ma'skarka
kulluha."
Ertinya :
"Tidak akan saya hapuskan satu
huruf pun dari Injil Tuhan saya,
meskipun seluruh anak panah
tentera tuan akan menembus dada
saya."
Mendengar jawaban itu, sang 'amir
yang sangat menghargai ketuguhan
iman sang Patriarkh, malah berkata:
"Amdhi wa aktub kamma tara"
yakni: Teruskanlah, dan tuliskan
sebagaimana yang Anda ketahui).(8)
Dikisahkan, bahwa Patriarkh Abu
Sedra II sendiri bersama orang-
orang Kristen Syria yang
menyambut kedatangan penjajah
Muslim pada tahun 639. Penjajah-
penjajah Muslim itu cuba
menawarkan kepada Abu Sedra dan
pengikutnya untuk masuk Islam.
Setelah melalui diskusi teologis
Patriarkh tetap teguh dengan
pendiriannya. 'Emir Arab itu tidak
mau berdebat lagi dan mulai
berbicara tentang ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi umat
Kristen yang menetap di wilayah
khalifat Islam. Penggalan kisah dan
percakapan di atas masih mewakili
pergumulan gereja-gereja Kristus di
tanah Arab sampai sekarang.
Sejarah juga membuktikan bahwa
selama 13 abad dalam perjalanan
gereja-gereja Arab sesudah
kedatangan Islam, penjajah-
penjajah Islam telah cuba
menghulurkan banyak godaan serta
ganjaran materi dan kebendaan
bagi orang Kristen supaya mereka
mau meninggalkan iman mereka.
Misalnya, pada zaman khalifah
tertentu yang menerapkan
pembatasan-pembatasan kepada
umat Kristen. Orang-orang Kristen
akan mendapat status sosial yang
lebih tinggi apabila mereka menjadi
Muslim. Kenyataannya, karena
godaan serta penghuluran ganjaran-
ganjaran ini banyak orang Kristen
menukar iman mereka di waktu itu.
Mula-mula gereja-gereja Arab ini
memang lebih dijamin
kebebasannya di bawah kekuasaan
Arab-Muslim. Seperti dicontohkan
pada zaman Nabi Muhammad dan
para sahabatnya. Hal intu ternyata
tidak bertahan lama. Kebijaksanaan
yang menjamin kebebasan
beragama ini tidak dilanjutkan
ketika pemerintahan jatuh ke
tangan orang-orang Muslim non-
Arab (Ottoman).
Sejak saat itulah babak baru
penindasan atas gereja-gereja Arab
dimulai, seperti yang pernah
mereka alami sebelumnya ketika
berada di bawah kekuasaan Kristen
Byzantium dan Zoroaster/Sasanid.
BERTAHAN HANYA KARENA
MUKJIZAT ALLAH
Satu hal yang patut dicatat, seperti
dicatat Thomas Arnold dalam The
Preaching of Islam,"(9) bahwa kalau
ada satu faktor saja yang menahan
gerakan besar-besaran mereka
untuk meninggalkan iman mereka,
satu faktor itu adalah mukjjizat
Ilahi. Berada di bawah suatu
kekuasaan politik yang berpindah
ke kekuasaan politik lain memang
selalu tidak mengenakkan. Dalam
sebuah konspirasi persaingan
politik, gereja-gereja di tanah Arab
itu acap dijadikan "kambing hitam".
Namun Allah selalu memeliharanya
dengan kasih sayang-Nya, dan
pertolongan-Nya selalu datang pada
saat-saat krisis yang mengancam
eksistensi mereka.
Saya ingin mengutip kisah mukjizat
besar, yang membuktikan
pemeliharaan Allah atas gereja-
gereja ini. Pada masa pemerintahan
al-Iman al-Aziz billah bin al-Mu'izz,
kalifah pertama Dinasti Fatimiyah
(975-996 Masehi), hiduplah seorang
Yahudi bengis bernama Ibn Killis.
"Tahukah Anda, hai Raja kaum
beriman," provokator Yahudi itu
memulai hasutannya. "Dalam kitab
orang Nasrani tertulis bahwa
apabila seseorang mempunyai
iman sebesar biji sesawi saja ia
akan dapat menggerakkan gunung
dari tempatnya." Maksudnya, tentu
saja ia menghendaki agar kalifah
memanggil pemimpin tertinggi
orang Kristen untuk membuktikan
kebenaran kata-kata Injil tersebut.
Pada waktu itu, Patriarkh Koptik di
Mesir yang dijabat oleh Anba
Abram As-Suryani, tidak bisa
mengelak dari permintaan raja
untuk memohon mukjizat dari
Allah. Padahal ayat ini tentu saja
tidak boleh dipahami secara
harfiah. Tantangan itu sudah
mempertaruhkan eksistensi
kekristenan di Mesir. Kalau doa
Anba Abram tidak dapat
mendatangkan keajaiban di
hadapan raja itu, kekristenan akan
dianggap sekadar kebohongan
belaka.
Selanjutnya dikisahkan, Patriarkh
memerintahkan para rahid dan
seluru umat Kristen untuk berdoa
dan berpuasa selama tiga hari
berturut-turut. Pada hari yang
ditentukan, Anba Abram bersama
seluruh umat Kristen pergi
menenuhi permintaan kalifah.
"Kyrie eleison, Kyrie eleison, Kyrie
eleison, " (10) begitu seluruh umat
Kristen berseru dengan histeris
kepada Allah yang Mahatinggi. Dan
apakah yang selanjutnya terjadi?
"Allahu akbar," seru kalifah pula,
begitu menyaksikan sendiri gunung
itu benar-benar bergerak. "Cukup,
ya Patriarkh, semua telah
membuktikan kebenaran imanmu."
Menurut beberapa sumber sejarah
Mesir, bukit yang bergerak itu
sampai hari ini disebut Mokkatam
(artinya: "pecah"), karena
dahsyatnya mukajizat tersebut.(11)
Yang menarik adalah kisah ini
bukan hanya dicatat oleh sumber-
sumber sejarah Kristen saja,
melainkan diabadikan pula oleh
seorang pengarang Muslim, Abu
Salih al-Armini dalam bukunya,
Tadhakkur fiha Akhbar min al-
Kana'is wa al-Adyar min nawahin
Mishri wa al-Iqtha'aih (Daftar berita-
berita tentang gereja-gereja dan
biara-biara di propinsi Mesir dan
wilayah wilayah di luarnya). Abu
Salih membahas kisah ini dalam
deskripsinya tentang Gereja St.
Mercurius, yang juga dikenal
sdengan nama Gereja "Abu As-
Saifain".(12)
Setelah terjadi mukjizat itu, kalifah
memerintahkan baik-pulih dan
restorasi gereja tersebut atas biaya
pemerintah Islam. Gereja ini
sampai hari ini masih bisa kita
saksikan di kota lama Kairo.
Kisah yang saya kutip di atas, dan
masih banyak mukjizat lain yang
terjadi sampai hari ini diizinkan
oleh Allah terjadi atas gereja-gereja
di Timur Tengah untuk
membuktikan kebenaran
kesimpulan Thomas W. Arnold.
Jelas pula bahwa rentangan panjang
sejarah kekristianan di dunia Arab
menghadapi keadaan yang amat
keras yang menyebabkan
perpindahan beribu-beribu
anggotanya ke Amerika, Eropa, dan
Australia.
Seperti yang terjadi dengan Gereja
Koptik, markaz al-Bathriki (pusat
kepatriarkhan) Gereja Ortodoks
Syria, juga mengalami perpindahan
dari satu negara ke negara lainnya.
Perpindahan ini terjadi akibat jatuh
bangunnya kekuasaan-kekuasaan
politik yang membawahi gereja
yang mula-mula berpusat di kota
purba Antiokhia ini. Tetapi bi-
ni'matillahi ta'ala, hanya dengan
anugerah Allah semata-mata,
akhirnya pusat gereja ini kembali
ke Syria dan menjadikan Damaskus
sebagai pusatnya. Meskipun
sejumlah besar anggota gereja Syria
mengalami berbagai malapetaka
dan penganiayaan yang
mengerikan, melalui gereja Syria ini
warisan gereja dari zaman Rasuli
telah diselamatkan. Salah satunya
adalah dilestarikannya bahasa
Aram/Suryani sebagai "lughat as-
Sayid al-Masih" (bahasa ibu dari
Gusti kita al-Masih). Suatu fakta
yang sangat menarik minat para
ahli.
Bahkan juga tokoh-tokoh
intelektual Muslim di Indonesia,
seperti ditunjukkan dari tanggapan
Dr. Nurcholish Madjid yang dikutip
di depan, juga Dr. Komaruddin
Hidayat dan Dr. Kautsar Azhari Noor
(13). Saya sendiri merasa begitu
takjub menyaksikan semua
mukjizat ini, lebih-lebih sebagai
'prasasti hidup' yang boleh
disaksikan oleh gereja-gereja Tuhan
lainnya di seluruh muka bumi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mar
Ignatius Ya'kub III, Patriarkh Gereja
Ortodoks Syria (1957 - 1983): "Wa
fakhuruna biannana auladu
ashshuhada' (Kami bangga menjadi
putra-putri para syahid yang gugur
di jalan Allah)." (14)
Apakah yang dapat dipelajari oleh
gereja-gereja di Indonesia dari
pengalaman saudara-saudara
seiman mreka di Timur Tengah?
Pertama, semua peristiwa itu
terjadi justru ketika kesatuan gereja
tercabik-cabik dan agama dijadikan
alat kekuasaan politik oleh Kristen
Byszantium. Kedua, kendati Allah
sendiri mengizinkan semua
penganiayaan terjadi, namun setiap
kelemahan dan penderitaan
menimpa tubuh gereja-Nya dan
kuasa kebangkitan-Nya
memberikan kekuatan baru. Hal ini
benar-benar diyakini oleh gereja-
gereja Arab, seperti yang
dikidungkan dengan penuh iman
pada setiap perayaan Paskah ('Id al-
Fashda) sebagai berikut:
"Al-Masih qama min bainal amwat
wa wathiy al-mauta al-maut
wa wahaba al-hayata lil ladzina
ful qubur"
Kristus telah bangkit dari antara
orang mati, dengan kematian-Nya
telah
diinjak-injak kematian, dan
dikaruniakan-Nya
hidup baru bagi setiap orang yang
ada
dalam kubur kematian.
Rujukan-rujukan dan referensi
Rencana ini di terbitkan dengan
ehsan Mas Bambang Noorsena
disertakan dengan penghargaan
kepadanya.
1. Hadits Riwayat Bukhari,
seperti dikutip oleh Munawir,
Sikap Islam terhadap
Kekerasan, Damai, Toleransi
dan Solidaritas (Surabaya:
Bina Ilmu, 1984), hlm 136.
2. Editorial, "Religious
Apartheid", dalam I.I.S.C.
Bulletin (October -
November, 1985), hlm. 2.
3. Al-Ra'I, 25 Desember
1996.
4. Y.W.M. Bakker, SJ. "Umat
Katolik Perintis Indonesia",
dalam M.P.M. Muskens, Pr.
Sejarah Gereja Katolik
Indonesia (Jakarta: Bagian
Dokumentasi Penerangan
MAWI, 1977, hlm. 31.
5. Mar Ignatius Ya'qub III, Al-
Kanisat Al-Anthakiyat As-
Suryaniyat" 'Abara al-Ushur.
Anthakiyat al-Orthodoksiyat
(Damaskus: Alif-Ba' al-Adib
Press, 1980), hlm. 25 - 27.
6. Thomas W. Arnold, Sejarah
Dakwah Islam (Jakarta:
Widjaya, 1979), hlm. 68-69.
7. Mar Ignatius Zakka I 'I Was,
Kanisat al-Anthakiyat as
Suryaniyat. Dirasat Suryaniyat
No. 7 (Allepo: Mathraniyat
Gregorius Ibrahim, 1981),
hlm. 47 - 48.
8. Mar Ignatius Ya'qub III, Al-
Kanisat Al-Anthakiyat As-
Suryaniyat" 'Abara al-Ushur
Anthakiyat al-Orthodoksiyat
(Damaskus: Alif-Ba' al-Adib
Press, 1980), hlm. 25-27.
9. Thomas W. Arnold, Sejarah
Dakwah Islam (Jakarta:
Widjaya, 1979), hlm. 68-69.
10. Ungkapan Kyrie eleison
berasal dari bahasa Yunani,
lazim diserukan dalam liturgi
Koptik, artinya: Ya Tuhan,
kasihanilah (Arab: Ya Rabbu
irham).
11. Iris Habib el-Masri, The Story
of the Copts (Kairo: The
Middle East Council of
Churches, t.t), hlm. 358-360.
12. Terjemahan bahasa Inggris
buku ini dikerjakan B.T.
Evetts, The Churches and
Monasteries of Egypt and
Some Neighbouring
Countries. Attributed to Abu
Salih The Armenian (Oxford:
At the Clarendon Press,
1985), hlm. 116-117.
Menariknya lagi buku
memuat informasi mengenai
masuknya Injil pertama kali
yang dbawa oleh orang
Kristen Syria di Nusantara
pada tahun 645, yaitu
deskripsinya kota Fansur,
Sumatra Barat. Dikisahkan, di
sana sudah ada banyak gereja
dan orang Kristen di sana
berasal dari Syria Timur/
Nestorian (fiiha 'idda biya' wa
jami' min biha an-Nashara
Nasthuri). Ibid, hlm. 300.
Presiden Abdurrahman
Wahid, dalam pidato Natal di
Jakarta, 24 Desember 2000,
juga menyinggung sekilas
mengenai kedatangan Kristen
Syria sebelum zaman Islam.
13. TEMPO. "Mata Rantai yang
Hilang", 9 November 1998.
14. Mar Ignatius Ya'qub III, Op.
Cit. Hlm. 22.

Back to posts