The Soda Pop

Alquran Sebagai Kitab Saduran.

Pewahyuan adalah proses kolektif,
baik sumber maupun proses
kreatifnya. Ia bukanlah proses yang
tunggal. Al-Quran sendiri
menegaskan gagasan ini. Ketika Al-
Quran berbicara tentang
pewahyuan, baik dengan kata
"mewahyukan" (awha) maupun
"menurunkan" (anzala, nazzala) Al-
Quran, digunakan kata nahnu:
berarti kami--sebagai subyek--
seperti dalam awhayna (kami telah
mewahyukan) ataupun anzalna,
nazzalna (kami telah menurunkan).
Dalam Al-Mu'jam al-Mufahhras li
Alfadzil Qur'an, kata awhaytu (aku
mewahyukan) hanya dipakai
delapan kali, sedangkan awhayna
(kami mewahyukan) digunakan
lebih dari 30 kali.
Kata "kami" adalah bentuk plural.
Pertanyaannya, siapakah yang
disebut "kami" dalam ayat-ayat itu?
Para mufasir klasik yang berkeras
pada doktrin ketunggalan dalam
pewahyuan menolak memahami
"kami" sebagai pluralitas dalam
pewahyuan. Menurut mereka,
meskipun "kami" bentuknya plural,
konotasinya pada Dia Yang Tunggal,
kata "kami" bertujuan lit ta'dzîm
(memuliakan) "si pembicara".
Namun, pendapat ini, menurut
hemat saya, rancu. Kata "kami",
bila digunakan sebagai pengganti
"saya" atau "aku" untuk
memuliakan "lawan bicara", bukan
"si pembicara". Misalnya, seorang
menteri tidak akan menggunakan
kata "aku/saya telah melakukan" di
depan presidennya, tapi
mengatakan "kami telah
melakukan". Sebab, selain
menunjukkan penghormatan
terhadap lawan bicara, menandakan
pengakuan, karena apa yang telah ia
lakukan bukanlah hasil kerjanya
sendiri, melainkan kerja kolektif.
Dalam tradisi tafsir klasik,
menafsirkan istilah "kami" yang
merujuk kepada Allah, Roh Kudus
Jibril, dan Muhammad lazim kita
temukan. Dalam pandangan ini, Al-
Quran secara "maknawi"
bersumber dari Tuhan, tapi secara
"lughawi " (redaksi bahasa) disusun
oleh Malaikat Jibril atau Nabi
Muhammad: Al-Quran adalah
"karya bersama" Allah, Jibril, dan
Nabi Muhammad. Kelompok
rasional Islam Muktazilah adalah
pelopor pemahaman ini.
Pendapat ini berdasarkan
sambungan sebaris ayat yang
berbicara tentang turunnya Al-
Quran: wa inna lahu lahafidzûn,
"dan sesungguhnya kami pula yang
akan menjaganya (Al-Quran)". Di
sini proses turunnya Al-Quran,
sebagaimana proses penjagaannya,
melibatkan "kerja kolektif" antara
Tuhan dan manusia. Proses
penjagaan (autentisitas) Al-Quran
oleh manusia berbentuk hafalan
dan tulisan.
Pewahyuan yang plural itu bisa
ditegaskan lebih lanjut dengan
menggunakan kajian sejarah yang
melibatkan konteks sejarah,
masyarakat, tradisi, dan lingkungan.
Pewahyuan dari konteks ini,
menurut saya, bisa lebih
menegaskan klaim Al-Quran
sendiri, yang menggunakan kata
"kami" yang plural, bukan "aku"
yang tunggal.
Kisah dalam Al-Quran
Saya akan mengambil contoh kisah-
kisah yang banyak dimuat Al-Quran.
Dua pertiga isi Al-Quran adalah
tentang kisah yang bersumber dari
konteks tempat wahyu itu turun:
kisah-kisah yang diperbincangkan di
pasar-pasar, di sela-sela transaksi
dan safari perniagaan, ataupun
dongeng yang diwariskan secara
turun-temurun.
Dari kajian sejarah ini, Al-Quran
tidak bisa melampaui konteksnya.
Dalam ranah ini, pendapat Nashr
Hamir Abu-Zayd bahwa al-nash
muntaj tsaqafi (Al-Quran
merupakan produk budaya) adalah
sahih. Al-Quran adalah produk
rangkaian proses kreatif-kolektif
manusia yang disebut budaya.
Wahyu tidak bisa lepas dari dua
faktor yang membentuknya: sejarah
(al-tarikh) dan konteks (al-waqi').
Kisah-kisah Al-Quran yang
dipercaya sebagai mukjizat
hakikatnya merupakan kisah-kisah
yang sudah populer pada zaman
itu. Al-Quran tidak pernah
menghadirkan kisah-kisah yang
benar-benar baru. Misalnya saja
kita tidak menemukan kisah
tentang masyarakat Cina atau India,
yang waktu itu telah memiliki
peradaban yang luar biasa. Hal itu
terjadi karena kisah-kisah tersebut
tidak pernah sampai atau kurang
populer ataupun tidak memiliki
dampak ideologis dan politis
terhadap masyarakat Arab. Berbeda
dengan kisah-kisah yang berasal
dari kawasan yang disebut "Bulan
Sabit Subur". Kawasan ini menjadi
"mata air" yang mengalirkan kisah-
kisah yang termaktub dalam Al-
Quran.
Kisah Nabi Isa
Bukti lain bahwa Al-Quran tidak
bisa melampaui konteksnya adalah
kisah tentang Nabi Isa (Yesus
Kristus). Sekilas kita melihat bahwa
kisah Nabi Isa dalam Al-Quran
berbeda dengan versi Kristen.
Dalam Al-Quran, Isa (Yesus)
hanyalah seorang rasul, bukan anak
Allah, dan akhir hayatnya tidak
disalib. Sementara itu, dalam
doktrin Kristen, akhir hidup Yesus
itu disalib, yang diyakini untuk
menebus dosa umatnya.
Ternyata kisah tentang tidak
disalibnya Nabi Isa juga
dipengaruhi oleh keyakinan salah
satu kelompok Kristen minoritas
yang berkembang saat itu, yakni
sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen
mayoritas yang menyatakan Isa
(Yesus) mati disalib, sekte Ebyon
adalah sekte Kristen yang bidah.
Saya menjumpai adanya sekte
Ebyon ini dalam buku Dinasti Yesus
(2007) karya James D. Tabor.
Menurut Tabor, sekte ini memiliki
keyakinan yang mirip dengan
keyakinan Islam dan berbeda dari
Gereja Roma (lihat di bagian
Konklusi di buku Tabor). Malah,
menurut Tabor, sekte inilah ahli
waris ajaran-ajaran kuno Yesus
sebelum bercampur baur dengan
ajaran Paulus. Tabor juga berasumsi
bahwa Ebyon inilah yang memiliki
kontak dengan Islam dan Nabi
Muhammad.
Namun, dalam konklusi yang sangat
pendek itu, Tabor tidak mengulas
secara detail persamaan keyakinan
Ebyon dan Islam, khususnya dalam
peristiwa yang sangat krusial, yaitu
penyaliban Yesus. Bagi para
peneliti Yesus Sejarah, penyaliban
Yesus adalah fakta sejarah,
sedangkan bagi Ebyon--sepanjang
pengetahuan saya terhadap akidah
sekte ini dari beberapa literatur
sejarah Arab dan Kristen--memang
mirip dengan akidah Islam serta
menolak cerita penyaliban Yesus.
Sejarah dan doktrin sekte Ebyon di
Arab ini bisa ditemukan dalam
buku Dr Jawwad Ali al-Mufashshal fi
Tarîkh al-'Arab Qablal Islâm
(Sejarah Bangsa Arab Sebelum
Islam) dalam empat jilid dan buku
Al-Nashrâniyah wa Âdâbuha Bayna
'Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra
Kristen di Era Arab Jahiliyah) dalam
dua jilid, karya Al-Abb Luwis
Syaikhu al-Yasû'i, seorang Romo
Katolik Jesuit. Demikian juga dalam
Al-Mawsû'ah Tarîkh Aqbâth Mishr
(Ensiklopedi Sejarah Koptik Mesir).
Pada zaman Nabi Muhammad tidak
hanya sekte Ebyon yang tersebar di
Jazirah Arab. Ada dua sekte Kristen
lain yang jauh lebih besar:
Manofisit dan Nestorian, sebagai
kelompok terbesar Gereja Timur
yang berlawanan dengan Gereja
Roma. Namun, kedua sekte itu
(Manofisit dan Nestorian) tetap
memiliki pandangan bahwa Yesus
mati disalib. Hanya, keyakinan
Ebyonlah yang benar-benar
berbeda: Isa bukan anak Tuhan, ia
hanya Rasul, dan matinya tidak
disalib.
Pengaruh Ebyon dan Waraqah bin
Naufal
Pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa Al-Quran lebih memilih
pandangan Ebyon yang minoritas
dan keyakinannya dianggap bidah
oleh mayoritas Kristen waktu itu?
Saya memiliki dua asumsi.
Pertama, karena pandangan Ebyon
ini lebih dekat dengan akidah
ketauhidan Islam. Kedua, sepupu
Khadijah bernama Waraqah bin
Naufal adalah seorang rahib sekte
Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan
pasangan Muhammad-Khadijah
diakui oleh sumber-sumber Islam,
baik dari buku-buku Sirah (Biografi
Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn
Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun
buku-buku hadis standar: Al-
Bukhari, Muslim, dan lain-lain.
Waraqah adalah wali Khadijah yang
menikahkannya dengan
Muhammad. Seorang perempuan
kali itu--yang kemudian dilanjutkan
oleh syariat Islam--tidak bisa
menikah tanpa seorang wali laki-
laki. Bisa dibayangkan kedekatan
Waraqah dengan Khadijah dan
Muhammad. Pun Waraqah orang
pertama yang mengakui bahwa
Muhammad memiliki tanda-tanda
kenabian. Ia juga bernubuat, "nasib
Muhammad seperti nabi-nabi
sebelumnya, dia akan diusir oleh
kaumnya".
Al-Quran juga mengisahkan
mukjizat Isa (Yesus) masa kanak-
kanak, membuat burung-burung
dari tanah, kemudian
menghidupkannya. Kisah ini
memang tidak ada dalam empat
Injil (Markus, Matius, Lukas, dan
Yohanes), tapi bukan berarti Al-
Quran adalah sumber tersendiri.
Kisah mukjizat Isa (Yesus) masa
kanak-kanak ini ada dalam tradisi
Gnostik Kristen: Injil masa kanak-
kanak Yesus menurut Tomas.
Kesimpulan saya sementara--yang
tentu saja bisa didebat dan
dibantah--kisah Isa (Yesus) dalam
Al-Quran, yang menegaskan bahwa
Isa "hanyalah" seorang rasul, bukan
anak Tuhan, dan tidak ada
penyaliban terhadapnya adalah
"saduran" dari keyakinan sebuah
sekte Kristen: Ebyon. Alasan Al-
Quran menggunakan kisah Yesus
versi ini, seperti yang telah saya
kemukakan: akidah sekte ini sesuai
dengan tauhid dan misi Islam, pun
sepupu mertua Muhammad:
Waraqah bin Naufal, adalah seorang
rahib dari sekte Ebyon yang
pertama kali "meyakini"
Muhammad sebagai nabi.
Kajian-kajian tadi, baik terhadap
teks-teks Al-Quran maupun kajian
sejarahnya, menyatakan bahwa
pewahyuan Al-Quran berasal dari
sumber dan konteks yang plural:
konteks dan sejarah tempat Nabi
Muhammad hidup, baik sebelum
maupun setelah ia menerima
wahyu. Malah "proses kreatif" itu
lebih kuat sebelum Muhammad
menerima wahyu, hanya periode
itu adalah "tahun-tahun yang
hilang" ataupun tidak menjadi
pusat perhatian dalam studi Islam
klasik, yang tujuannya untuk
menegaskan pewahyuan yang
tunggal dari Tuhan serta menafikan
pengaruh konteks dan sejarah.
Al-Quran sebagai "kitab-keimanan"
sah-sah saja bila diyakini memiliki
sumber tunggal: ia adalah mukjizat,
melalui proses yang menakjubkan,
hingga di luar nalar manusia.
Namun, Al-Quran dalam kajian
kesejarahan tidak bisa dipandang
seperti itu. Dalam ranah ini, Al-
Quran tetap memiliki banyak
sumber dan "proses kreatif" yang
bertahan serta berlapis-lapis. Al-
Quran adalah "suntingan" dari
"kitab-kitab" sebelumnya, yang
disesuaikan dengan "kepentingan
penyuntingnya". Al-Quran tidak
bisa melintasi "konteks" dan
"sejarah", karena ia adalah "wahyu"
budaya dan sejarah.

Back to posts