Fatwa MUI Pengaruhi Arus Radikalisme Islam Di Indonesia.

Pluralisme keagamaan adalah sikap
yang menghargai pluralitas
keyakinan keagamaan orang lain
sebagai bagian yang asasi dan
inheren dalam diri manusia, tanpa
harus mengakui kebenaran ajaran
agama orang lain.
“Meningkatnya radikalisme agama
akhir-akhir ini sebagian didukung
oleh fatwa MUI.” Demikian
pernyataan direktur International
Center for Islam and Pluralism, Dr.
Syafi’i Anwar pada diskusi bulanan
Jaringan Islam Liberal (JIL) 28/2 lalu.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
fatwa MUI tentang haramnya
liberalisme, sekularisme, dan
pluralisme sering dijadikan
justifikasi oleh kelompok-kelompok
tertentu dengan mengatasnamakan
agama.
Meningkatnya arus radikalisme
agama di Indonesia akhir-akhir ini
bisa ditengarai dengan
memuncaknya aksi kekerasan yang
menimpa Jama’ah Ahmadiyah
Indonesia, perusakan gereja-gereja
dan maraknya konflik antaragama di
beberapa daerah.
“Fatwa MUI tersebut ikut andil
sebagai penyebab kasus-kasus itu”,
tegas Syafi’i. Berdasarkan penelitian
Syafi’i di beberapa pesantren di
Jawa Barat, para santri dan kyai di
sana yang menolak sekularisme,
liberalisme, dan plursalisme
mengaku terpengaruh fatwa MUI
yang mengharamkan isme-isme
itu.
Menariknya, menurut catatan
doktor dari Melbern University ini,
mereka yang menolak pluralisme
itu tidak mengetahui makna
pluralisme yang sebenarnya.
Mereka hanya tahu definisi
pluralisme dari MUI. Dalam fatwa
MUI, pluralisme didefinisikan
sebagai paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama
dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif. “Di sini MUI
telah melakukan penafsiran tunggal
atas pluralisme”, tandas Syafi’i.
Dengan definisi seperti itu, bagi
penganut agama yang taat, tentu
mereka menolak. “Ketika ICIP
mengadakan training pluralisme
dan kita jelaskan apa itu makna
pluralisme sesungguhnya, mereka
malah menerima”, tegas Syafi’i geli.
Bagi direktur ICIP ini, pluralisme
bukanlah relativisme. “Pluralisme
keagamaan adalah sikap yang
menghargai pluralitas keyakinan
keagamaan orang lain sebagai
bagian yang asasi dan inheren
dalam diri manusia, tanpa harus
mengakui kebenaran ajaran agama
orang lain.” Demikian tulis Syafi’i
dalam makalahnya yang disajikan
malam itu. Diskusi yang
mengangkat tema tentang Arus
Radikalisme Islam di Indonesia itu
juga menghadirkan Saifiul Mujani,
Direktur LSI (Lembaga Survei
Indonesia) yang juga ketua yayasan
Kajian Islam Utan Kayu.
Kalau Syafi’i menyajikan
makalahnya yang cukup panjang,
maka Mujani juga tidak mau kalah.
Malam itu ia bukan menuliskan
makalah, tetapi membawa segepok
data hasil penelitian. Sebagaimana
kapasitasnya sebagai direktur
sebuah lembaga survei, Mujani
memang dikenal sebagai pakar
peneliti. Dosen Pasca Sarjana UIN
Jakarta itu, akhir Januari lalu
mengadakan penelitian tentang
Awarness dan approval
(pengetahuan dan penerimaan)
masyarakat Indonesia terhadap
beberapa organisasi keislaman
yang tersebar di Indonesia.
Beberapa ormas dan LSM
keagamaan yang masuk dalam
penelitian itu antara lain adalah NU,
Muhamadiyah, MUI, HTI, JIL, Lia
Eden, Jama’ah Tarbiyah, Ahmadiyah,
dll. Bagi doktor dari Ohio University
ini, radikalisme keagamaan adalah
pandangan dan sikap untuk
merubah suatu pandangan yang
sudah ada dengan pandangan
keagamaan yang belum ada. “Sikap
atau pandangan ini bisa hanya
berupa bayangan atau imajinasi
saja, tapi juga bisa bergeser pada
sikap dan tindakan nyata”,
tambahnya. “Cara yang dilakukan
bisa damai bisa dengan kekerasan.”
Gerakan radikalisme agama akhir-
akhir ini merambah kepada
masyarakat dengan begitu cepat.
Fenomena tersebut menurut
direktur ICIP, banyak dipengaruhi
oleh media-media kanan yang
banyak bermunculan di masyarakat.
Media seperti itu seringkali
menghembuskan berita-berita yang
sinis terhadap ajaran di luar
kelompoknya. “Kondisi itu
diperkeruh pula oleh pengkhutbah
kita di masjid-masjid”, keluh Syafi’i.
“Mereka ini seringkali
mengkhutbahkan agama bukan
dengan wajah kedamain, melainkan
dengan kutukan, penyesatan,
penghinaan terhadap kelompok-
kelompok non mainstream.
Akibatnya umat menjadi
terpengaruh dan terprofokasi.”
“Gejala radikalisme agama yang
berkembang di masyarakat ditandai
oleh beberapa hal”, ungkap Syafi’i.
Pertama, adalah kecenderungan
untuk menafsirkan teks secara
leterlek dengan mengabaikan
konteks. Kedua, adanya orientasi
pada penegakan syariah, atau
syariah minded. Dan ketiga, adalah
adanya kecenderungan anti
pluralisme. Kecenderungan seperti
ini menampakkan adanya pengaruh
gerakan salafisme dari Timur
Tengah.
Keterangan di atas diamini pula
oleh Mujani. Data hasil penelitian
yang ia bawa malam itu menjadi
bukti paling nyata akan
kecenderungan radikalisme agama
akhir-akhir ini. Dalam
penelitiannya, kecenderungan
radikalisme itu diukur dengan
jawaban-jawaban yang diperoleh
dari pertanyaan-pertanyaan tentang
agenda Islamis yang paling umum.
Misalnya tingkat persetujuan
masyarakat atas praktek poligami,
hukum rajam, hukum potong
tangan, presiden perempuan,
keharaman bunga bank dan
sebagainya.
Hasil penelitian yang ia lakukan
secara nasional akhir Januari lalu itu
menunjukkan adanya kenaikan
angka persetujuan atas agenda-
agenda Islamis tersebut dibanding
lima tahun sebelumnya. Hukum
rajam misalnya, pada tahun 2001
tingkat persetujuan masyarakat
Indonesia hanya 29%. Tetapi pada
tahun 2005 persetujuan itu naik
hingga mencapai 55%. Sementara
yang setuju atas hukum potong
tangan ada sekitar 41%. Pada
agenda Islamis lainnya juga
diperoleh angka yang kurang lebih
sama. “Tapi data ini sifatnya masih
global”, aku Mujani. “Artinya orang
yang setuju atas hukum potong
tangan atau rajam, belum tentu
sepakat ketika itu benar-benar
diterapkan dalam kenyataan.
Apalagi kalau itu menimpa
langsung diri mereka.”
Yang menjadi kekhawatiran Mujani
sebenarnya bukan pada tingginya
angka-angka itu. Tetapi angka-angka
tersebut menurutnya mempunyai
hubungan dengan aksi kekerasan
dan terorisme yang semakin nyata
di negeri ini. Direktur LSI ini
beramsumsi bahwa para
pendukung agenda Islamis itu
cenderung mengamini tindak-
tindak kekerasan dan terorisme
yang mengatasnamakan agama,
meski tidak secara terang-terangan.
Menurutnya paling tidak ada 1 dari
10 orang Indonesia yang
menyetujui aksi-aksi kekerasan dan
terorisme itu. Artinya ada 1% dari
150 juta masyarakat Indonesia yang
menyetujui aksi tersebut. Berarti
ada lebih kurang 15 juta orang
Indonesia yang melindungi para
teroris itu. “Pantas saja polisi
kesulitan menangkap orang macam
Amrozi dan Azahari.” “Lha wong
banyak yang melindungi kok”,
seloroh Mujani. Baginya angka itu
sangat mengkhawatirkan dan
mengancam keutuhan NKRI yang
berdasarkan Pancasila, bukan
Islam.
Pengaruh Global
Diskusi bulanan yang bermarkas di
Teater Utan Kayu itu tampak
dipenuhi para pengunjung. Selain
para mahasiswa dan aktivis LSM,
tampak pula beberapa warga negara
asing yang ikut menghadiri diskusi
tersebut. Konon mereka dari
kedutaan Rusia. Bahkan di tengah-
tengah acara, muncul pula Miss
Waria 2004 yang datang bersama
temannya dalam diskusi tersebut.
Beberapa peserta juga antusias
memberikan tanggapan dan
komentarnya saat dibuka sesi
dialog. Salah seorang penanggap
mengatakan arus radikalisme ini
mempunyai jaringan internasional
yang cukup kuat. Mereka yang
terpengaruh dengan gerakan-
gerakan ini biasanya berawal dari
pendidikan dan bacaan yang
mereka peroleh. Buku, majalah,
leaflet, jurnal, dan semacamnya
sudah beredar cukup luas di
Indonesia, bahkan sebagian juga
masuk pada jalur pendidikan.
Gerakan ini memang cukup mudah
memengaruhi minat masyarakat.
Dengan menggunakan dalih agama,
mereka bisa cukup leluasa
memasuki sendi-sendi keagamaan
dalam masyarakat, seperti masjid,
pesantren, dan madrasah.
Masuknya ideologi radikal
semacam itu telah mengubah
basis-basis keagamaan tersebut
menjadi lebih garang dan ekslusif
dari wajahnya semula yang toleran
dan membumi.
Pengaruh gerakan ini juga telah
merambah ke dalam wilayah
politik. Lahirnya era reformasi di
Indonesia yang membuka kran
kebebasan, semakin memudahkan
mereka memasuki panggung
perpolitikan. Berdirinya Partai
Keadilan yang berubah menjadi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
menandai fenomena itu. Partai
yang berasaskan Islam ini menjadi
pintu bermain politik para
pendukung agenda Islamis
tersebut.
Agenda-agenda itu pelan-pelan juga
telah mewarnai wajah kebijakan
politik negara kita. Munculnya draf
RUU APP yang sekarang ramai
diperdebatkan menjadi contoh
paling nyata. Selain itu juga
ramainya tuntutan pemberlakuan
syariat Islam di daearah-daerah dan
disahkannya Perda-Perda yang
syariah minded.
Menurut Syafi’i, gerakan semacam
ini jika dibiarkan bisa berakibat
pada pendangkalan makna agama.
Karena agama yang semula
mempunyai banyak sisi dan
ragamnya, pelan-pelan telah
direduksi menjadi simbol politik
tertentu dan berwajah tunggal.
“Inilah yang selama ini menjadi
keprihatinan para pembaharu
agama”, ucapnya mengakhiri
diskusi.[]
Referensi: http://islamlib.com/id/
index.php?page=article&id=1020

Back to posts

Old school Swatch Watches