Pada tahun 155 Masehi, orang
Kristen dianggap sebagai orang
yang ateis karena mereka dianggap
menyembah Allah yang tidak
kelihatan. Policarpus, pemimpin
gereja di Smirna, ditangkap, dan
hari itu juga diputuskan untuk
dihukum mati. Dalam
perjalanannya menuju ke pusat
kota, seorang tua menasihatinya,
"Apa salahnya sich mengakui kaisar
adalah Allah dan
mempersembahkan korban
baginya, sehingga kau bisa
dibebaskan!" Tapi, bagi Policarpus,
Kristus adalah satu-satunya Allah
yang hidup.
Ketika memasuki arena
penghukuman, algojo memberikan
dia pilihan, untuk mengutuk nama
Kristus dan mempersembahkan
korban bagi kaisar, atau untuk mati
dibakar hidup-hidup. "Delapan
puluh enam tahun saya telah
melayani Kristus," jawab
Policarpus, "Dan Dia tidak pernah
berbuat jahat padaku. Bagaimana
sekarang aku bisa menghujat
Rajaku yang telah
menyelamatkanku?" lanjutnya
dengan gagah berani. Akhirnya,
Policarpus meninggal dunia dengan
cara dibakar hidup-hidup.
Kejadian ini membuat rakyat kota
Smirna gempar dan berdecak
kagum. Kesetiaan Policarpus hingga
mati, telah membuat orang banyak
melihat perbedaan yang bersifat
konkret, yang terjadi di dalam diri
orang percaya
dan orang-orang yang tidak percaya.
Hal ini menguatkan hidup orang
percaya dan menjadi berita
kesaksian bagi mereka yang belum
percaya (Edy Fances, 52 Renungan
Reflektif, 175-176).
Saat ini, mungkin kita belum
mengalami penderitaan; tetapi, ada
orang percaya yang sudah
mengalaminya di tempat yang lain.
Ketika kita mendengar ada orang
percaya yang sedang mengalami
penderitaan, kita dapat berdoa
kepada Allah untuk mereka. Jika
kita mengalami peristiwa yang
sama seperti yang dialami oleh
Policarpus, akankah kita tetap setia
pada Tuhan Yesus sampai akhir
hidup kita?
Lebih dari 2000 tahun yang lalu,
Tuhan Yesus sudah mengingatkan
murid-murid-Nya, bahwa
memasuki zaman akhir (setelah
Yesus Kristus naik ke sorga), akan
ada banyak pengajaran sesat yang
tidak mengakui Tuhan Yesus
sebagai Juru Selamat. Juga terjadi
perang, bencana alam,
penganiayaan, moral kebanyakan
orang semakin rusak, manusia tidak
lagi mengasihi Allah dan sesama,
tetapi hanya mencintai diri sendiri.
Dosa telah membuat kasih menjadi
dingin. Namun, anak-anak Tuhan
yang dapat bertahan sampai akhir,
akan diselamatkan. Pada akhirnya,
Injil akan diberitakan di seluruh
dunia.
Rentetan peristiwa yang telah dan
akan terjadi, seperti yang sudah
disebutkan di atas, dan peristiwa di
mana Allah akan menghakimi
dunia, mengajarkan kepada kita
agar kita semakin tekun
memberitakan Injil. Di masa-masa
seperti inilah, pemberitaan Injil
harus menjadi suatu agenda yang
sangat mendesak (urgensi). Di
tengah-tengah zaman, yang mana
kasih menjadi semakin dingin,
justru kita harus mengobarkan
kasih kita kepada sesama,
sekalipun itu adalah musuh
kita. Tuhan Yesus berkata: "Aku
memberikan perintah baru kepada
kamu, yaitu supaya kamu saling
mengasihi; sama seperti Aku telah
mengasihi kamu demikian pula
kamu harus saling mengasihi.
Dengan demikian semua orang
akan tahu, bahwa kamu adalah
muridmurid-Ku, yaitu jikalau kamu
saling mengasihi" (Yohanes
13:34-35).
Tentang penderitaan yang akan
dialami oleh orang-orang percaya,
kita tidaklah perlu mencari-carinya,
atau membuatnya. Namun, jikalau
Tuhan memang mengizinkan kita
untuk mengalaminya, percayalah
bahwa Dia juga akan memberikan
kekuatan untuk kita dapat
menanggungnya. Allah akan tetap
memelihara kita dalam segala
keadaan, apa pun itu. Yang penting,
hati kita slap, dan tekad kita bulat
untuk tetap setia sampai mati, apa
pun yang akan terjadi.
"Jika Tuhan memang mengizinkan
kita mengalami
penderitaan, biarlah kita dapat
melihatnya
sebagai pengujian hidup iman kita."